Deddy Sitorus: Penyelesaian Kasus Pencemaran Sungai Malinau Harus Tetap Mengacu Pada UU

Tanjung Selor – Pencemaran Sungai di Malinau , Kalimantan Utara (Kaltara) tak bisa dianggap sebelah mata. Mekanisme hukum harus diterapkan kepada pihak – pihak yang diduga menjadi penyebabnya tercemarnya sungai yang merupakan salah satu sumber penting bagi masyarakat sekitar.


Demikian diungkapkan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) , Deddy Sitorus, menanggapi belum selesainya persoalan tersebut. Menurut Deddy, apapun penyebabnya, ada undang-undang yang harus menjadi rujukan dari penyelesaian kasus tersebut.


“Walaupun kita tidak tahu apakah itu sebuah bencana yang tidak terelakkan atau karena adanya kelalaian atau ada unsur kesengajaan, namun undang undang  sudah mengatur dengan jelas dan seharusnya dijadikan rujukan dalam menyikapi masalah ini,” tegas Deddy, Sabtu (17/4)


Diberitakan sebelumnya,  pada awal Februari lalu, tanggul kolam limbah perusahaan batubara PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) di Malinau, Kalimantan Utara, jebol dan mencemari Sungai Malinau dan Sesayap. 


Limbah tambang itupun mengalir dan mencemari Sungai Malinau. Setidaknya warga yang tersebar 14 desa sekitar DAS Malinau yakni Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban). Lalu, DAS Mentarang (Lidung Keminci dan Pulau Sapi) dan DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota sangat merasakan dampaknya.

Masih diketemukan ikan mati yang diduga terkena limbah batu bara


Tak hannya matinya ikan – ikan yang merupakan sumber penghidupan masyarakat sebagai nelayan, limbah juga membuat air sungai sempat tak dapat di konsumsi.


Diketahui, terkait hal tersebut, pada 10 Februari 2021, Pemerintah Kabupaten Malinau mengeluarkan sanksi. Dalam SK Nomor 660.5/K/.86/2021 tentang sanksi paksaan pemerintah kepada perusahaan, pemkab meminta perusahaan melakukan perbaikan tanggul, penimbunan tanah, melibatkan tenaga ahli kompeten untuk mengatasi limbah. Juga, mengganti ikan mati, membuat sistem penanganan dini penanganan tanggul jebol serta inspeksi tanggul secara berkala.


“Sampai saat ini saya belum mendapatkan informasi dari Dinas Lingkungan Hidup  tentang hasil investigasi dan realisasi dari SK yang dikeluarkan atas insiden pencemaran sungai Malinau ini,” tutur Deddy

Sebagaimana dilansir dari Mongabay.co.id, dalam laporan Jatam pada 2018 berjudul “Oligarki Ekstraktif dan Penurunan Kualitas Hidup Rakyat” menyebutkan, perubahan terjadi pada sungai sejak pertambangan batubara beroperasi di hulu Sungai Malinau dan limbah masuk ke sungai. Perubahan paling mudah teramati, kata Merah, adalah perubahan warna air sungai. Kini, air jadi keruh. Dari laporan warga menyatakan kalau ikan-ikan sungai berkurang dan mulai susah ditemukan.


“Pencemaran sungai itu sudah berulang kali terjadi, saya tidak tahu langkah2 apa yg sudah dilakukan oleh perusahaan dan bagaimana mitigasinya,. Mungkin sebaiknya penanganan kasus ini oleh pihak POLRI dan Kementerian LHK,” tandas poliitisi PDI Perjuangan tersebut.


Menanggapi sikap Pemprov Kalimantan Utara yang mengpreisiasi PT  KPUC melalui seremonial pelepasan bibit ikan di Sesayap, yang menyebutkan bahwa investigasi telah dilakukan dan air sungai Malinau dinyatakan aman, Deddy menilai Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Utara bermaksud menghindari polemik berkepanjangan terhadap kasus ini.


“Fikiran positif saya mengatakan begitu. Tapi saya juga ingin mengingatkan Pemprov bahwa masyarakat berharap mereka melaksanan tugasnya sesuai peraturan dan per-UU yang berlaku. Jangaj ada dusta diantara kita,” tandasnya.


Menurut Deddy, seharusnya DLH Provinsi Kaltara, menurunkan tim untuk memeriksa kualitas air Sungai Malinau sebelum ikut-ikutan dalam kegiatan tabur benih ikan di sungai. Tidak saja di lokasi yg tercemar di sekitar penambungan limbah tetapi juga sedimentasi di muara sungai. 


“Perlu diingat, bahwa unsur – unsur pencemar dari limbah itu bersifat “bio-akumulatif” yang artinya akibatnya dari limbah itu baru akan terlihat dalam jangka panjang,” jelasnya 


Jika kandungan racun dari limbah itu di luar batas toleransi, maka sesungguhnya air sungai tidak layak digunakan utk kebutuhan sehari-hari apalagi untuk diminum. Jika kandungan pencemarannya berat maka ikan yg ada disungai itu atau di muara sungai sangat tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Hal ini harus diperiksa secara mendalam karena tugas pemerintah itu melindungi rakyatnya. 


“Saya sangat berharap agar pihak Pemprov segera mengundang peneliti independen untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Kalau memang dalam batas aman dan sudah tidak tercemar, maka kita tidak perlu lagi khawatirkan,” ungkapnya


Deddy menegaskan, pihaknya akan tetap memonitor langkah penegakan hukum oleh instansi yang berwenang seperti Polri, Kemen LHK dan Kemen ESDM. Hal ini menurutnya sangat perlu agar masyarakat tidak menyimpan syak wasangka berlebihan dan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan kepada hukum. 


“Tidak boleh dibiarkan persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa perusahaan itu tidak tersentuh hukum dan bisa membeli siapapun. Itu tidak baik dan sangat berbahaya. Proses hukum juga diperlukan agar bencana seperti ini tidak terulang di masa depan,”  jelasnya 


Deddy mengungkapkan, jika sungai Malinau sudah benar-benar aman dari zat beracun, perusahaan sudah mematuhi persyaratan dan aturan pengolahan limbah yang ada, maka ia jua akan menyumbangkan ikan di sungai itu. 


“Perusahaan itu harus ingat bahwa rakyat juga punya batas kesabaran dan logikanya sendiri. Kalau perusahaan itu beroperasi sesuai aturan yang ada, saya mendukung mereka. Karena kita membutuhkan investasi utk membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi. Tetapi kita sangat berharap agar investasi itu bekerja sesuai aturan memberikan manfaat bagi rakyat banyak,” pungkasnya. (Eddy Santry)