Perspektif Islam tentang Mudik dimasa pandemic Covid-19

Oleh: Amiruddin Kuba_

Jakarta-berandankrinews.com.
Mudik adalah sebuah pekerjaan rutin yang dilakukan oleh seseorang menjelang hari Raya Islam seperti Idul Fitri. Pergerakan orang-orang mudik biasanya sudah terlihat seminggu sebelum perayaan idul fitri. Puncaknya dapat kita saksikan 1 atau 2 hari menjelang hari “H” idul fitri. Tidak ada yang aneh terkait mudik selama ini.

Mengapa? Karena mudik adalah sarana untuk bersilaturrahim dan berkumpul dengan keluarga tercinta di kampung setelah berpisah selama sekian bulan dan atau tahun. Mudik juga biasanya dimanfaatkan untuk berbagi rejeki kepada keluarga atau tetangga dan orang lain dari sebagian rejeki penghasilan di tempat kerja masing-masing.

Namun karena adanya kasus pandemi covid-19, maka kebiasaan mudik menjadi tinggal angan-angan atau mimpi saja.
Bulan Maret lalu muncul wacana pemerintah akan melarang mudik ke kampung halaman masing-masing. Pemerintah juga mewacanakan untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bagi daerah tertentu khususnya daerah yang terkena zona merah pandemi covid-19.

Wacana ini bertujuan muliah yaitu dalam rangka memutus mata rantai pandemi covid-19 agar tidak meluas di masyarakat. Tidak lama kemudian, wacana PSBB benar-benar menjadi kenyataan.
DKI Jakarta merupakan kota pertama yang memberlakukan PSBB melalui Keputusan Gubernur Nomor 380 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur Nomer 33 Tahun 2020 yang berlakui sejak tanggal 10 April 2020.

Langkah yang diambil oleh DKI Jakarta kemudian diikuti oleh beberapa kota yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kota lainnya di Indonesia termasuk kota Makassar. Berselang beberapa hari kemudian, setelah mendengarkan hasil evaluasi dan berdasarkan survei Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dimana ada 68 persen warga yang menyatakan tidak akan mudik sementara sisanya bersikukuh mudik sebanyak 24 persen dan bahkan 7 persen sudah mudik duluan.

Berdasarkan data ini, Presiden Joko Widodo kemudian mengumumkan larangan mudik mulai terhitung sejak tanggal 24 April hingga 1 Juni 2020. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana Islam memandang soal mudik dan PSBB? Apakah larangan mudik atau pemberlakuan PSBB pernah ada dalam sejarah Islam?

*Pentingnya Menjaga Diri dan Keluarga*

Dalam al-qur’an dikatakan, “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari Api Neraka” (Qs. At-Tahrim/66: 6). Ayat ini berisi perintah Allah Ta’ala kepada orang-orang beriman untuk melindungi diri dan keluarganya dari api neraka. Ayat ini menjadi pengingat bagi setiap Muslim yang beriman.

Sebab ukuran kesuksesan dan kebahagiaan manusia di akhirat kelak adalah ketika dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Ibnu Abbas r.a. dalam sebuah majlis ilmu pernah berkata bahwa makna “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” adalah melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan maksiat serta perintah untuk berdzikir kepada-Nya. Maka dengannya Allah selamatkan kalian dari api neraka”. Hal senada dikatakan oleh Muqatil, Ad-Dhahak dan Ali bin Abi Thalib ra.

Dalam konteks pelarangan mudik oleh pemerintah pada masa pandemi covid-19 dan bertepatan dengan bulan ramadhan, maka pelarangan ini adalah hal yang sudah bijak dan benar. Bisa dibayankan jika kita tetap melakukan atau nekat mudik, maka hal ini bisa berdampak pada diri dan keluarga kita di kampung. Boleh jadi kita secara tampak tidak menunjukkan gejala apa-apa akan tetapi ketika dalam perjalanan pulang hingga di kampung halaman bisa saja kita terkena covid-19.

Akibatnya, keluarga yang kita datangi bisa tertular pandemi covid-19. Sebaliknya, boleh jadi kita akan yang akan tertular dari keluarga yang ada di kampung. Jika kondisi demikian, maka kita sudah termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menjerumuskan keluarga kedalam kebinasaan.

Dengan kata lain, kita bisa dikategorikan sebagai orang yang tidak menjaga diri dan keluarga sebagaimana disinggung dalam ayat dan perkataan Ibnu Abbas di atas. Disinilah pentingnya untuk tidak mudik agar diri kita dan keluarga bisa selamat dari pandemi covid-19 dan tentu selamat dunia akhirat.

Apalagi dalam situasi bertepatan bulan ramadhan, sebaiknya dimanfaatkan untuk beribadah lebih khusu’ di rumah saja bersama keluarga.

*Mentaati Pemerintah adalah Perintah Nash*

Keinginan untuk mudik ramadhan dan idul fitri tahun ini pupus sudah. Pemerintah telah mengeluarkan keputusan terkait larangan mudik. Bukan tanpa alasan, pemerintah ingin melihat rakyatnya selamat dari penyakit menular baru ini. Pemerintah ingin memutus mata rantai pandemi covid-19 sesegera mungkin demi kemaslahatan bersama.

Oleh karena itu, diperlukan kesadaran masing-masing pihak untuk menahan diri sementara melakukan mudik di kampung halaman. Sebagai rakyat atau umat yang baik, sudah selayaknya untuk mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah. Apalagi dalam keadaan darurat pendemi covid-19 saat ini, sudah pasti kita semua was-was dan perlu mengambil langkah preventif dalam mencegah tertularnya pandemi covid-19.

Ketaatan kepada keputusan pemerintah sebetulnya telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya yang berbunyi,” Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah rasul-Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa/4:59). Menurut Ibnu Abi ‘Izz dalam Syarah Aqidah Thahawiyah dalam Syarh Aqidah Ath Thahawiyah bahwa hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan)

walaupun mereka berbuat dzalim. Keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Berdasarkan ayat dan pendapat Ibnu Abi ‘Izz di atas jika dikaitkan dengan kasus pandemi covid-19, maka dapat dipahami bahwa mentaati pemerintah (ulil amri) untuk tidak mudik adalah perintah nash yang wajib diikuti.

*Larangan Mudik dalam Sejarah Islam*

Sebagaimana dalam pengantar saya di atas, telah dijelaskan untuk pertama kalinya DKI Jakarta telah memberlakukan PSBB secara resmi kemudian diikuti oleh sejumlah kota lain. Pemerintah pun telah memutuskan untuk melarang mudik ramadhan dan mudik lebaran. Tujuannya jelas, untuk memutus mata rantai dan meluasnya penyakit menular (tha’un) yang dikenal sebagai pandemi covid-19 di seluruh wilayah Indonesia.

Pertanyaan kemudian adalah apakah larangan mudik sudah pernah ada dalam sejarah Islam? Kalau kita menelusuri dalam sejarah Islam, ternyata larangan untuk tidak meninggalkan kota (mudik) yang terdapat wabah penyakit menular (tha’un) – seperti pandemi covid-19 saat ini- telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu. Salah satu hadis yang terkait hal ini yaitu hadis yang cukup masyhur diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid, Rasulullah SAW bersabda: _“Tha’un adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia.

Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.”_

Pesan dalam hadis ini sangat jelas dimana nabi melarang kita untuk tetap berada pada suatu kota/daerah yang di dalamnya terdapat penyakit menular (tha’un). Sebaliknya, Nabi juga melarang kita untuk tidak memasuki sebuah kota/daerah yang di dalamnya ada tha’un. Dalam konteks kasus pandemi covid-19 yang menimpa dunia termasuk Indonesia,

maka larangan pemerintah untuk tidak meninggalkan kota dan melarang pihak luar untuk masuk di suatu kota, pemberlakuan PSBB, termasuk melarang beroperasi keluar masuk moda transportasi di wilayah tertentu seperti pesawat komersial domestik dan internasional, kereta api, bus penumpang antar kota dan kendaraan lainnya adalah sebuah keputusan yang sangat sejalan dengan hadis Nabi di atas.

Tujuannya jelas, demi kemaslahatan bersama. Dalam pengertian lain, larangan mudik adalah sebuah langkah antisipasi (preventive) agar kasus pandemi covid-19 merebaknya secara luas.

Hal ini juga sejalan dengan kaidah usul fikih yang berbunyi, “dar’ul mafâsid muqoddam ‘alâ jalbil masholih” yang berarti “menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan. Sementara kaidah pokoknya berbunyi “adh-dhororu yuzâlu” yang berarti “bahaya haruslah dihilangkan”. Kata al-Mafâsid dimaksudkan untuk berbagai hal yang menimbulkan bahaya, dan bahaya itu sendiri, sesuatu yang melukai,

menimbulkan kesulitan, kesempitan, atau berdampak buruk pada diri seseorang, masyarakat luas atau orang lain. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah jika kita mengapresiasi dan mengikuti keputusan larangan mudik demi untuk kemaslahatan bersama. Mengurunkan niat untuk tidak mudik juga salah satu cara menyelematkan jiwa keluaga/saudara kita di kampong halaman.

Mengurungkan niat saja sudah mendapat pahala apalagi jika kita benar-benar menjalankan niat itu dengan tidak mudik tentu pahalanya lebih banyak lagi. Lebih baik kita konsentrasi menjalankan ibadah puasa dengan tenang, sembari berdoa agar kita dan keluarga kita di kampung senantiasa dalam keadaan sehat selalu dan terhindar dari pandemi covid-19. Semoga! Wallahu A’lam

_Amiruddin Kuba, Alumni Fakultas Syariah UIN Alauddin Makassar, Kepala Seksi Kemahaiswaan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI, Dewan Pengawas Nasaruddin Umar Office (NUO) Foundation, Founder Balqis Foundation Jakarta_

Muh Ishak Hammer