Ketika Raga Takluk Kepada Jiwa, Maka Sebuah Prinsip Bushido Jalan Samurai Masyarakat Bugis-Makassar

Dalam konsep filosofi manusia Bugis/Makassar kita sering mendengar isitilah siri’. Dimana ketika seorang manusia Bugis/Makassar telah berkata siri’ dia akan melakukan apa saja untuk melindungi, menjaga dan menegakkan siri’ nya tersebut, sehingga secara sederhana siri’ di artikan sebagai kehormatan atau harga diri. Dalam banyak kasus siri’ sering dihubungkan dengan tindakan kekerasan bahkan pembunuhan. Namun sesungguhnya Filosofi siri’ pada manusia Bugis/makassar tidaklah sesederhana itu.

Siri’ sesungguhnya adalah suatu keadaan ketika raga sepenuhnya takluk kepada jiwa, sehingga membuat manusia bugis “hilang” rasa takutnya yang dia lakukan adalah bagaimana cara menjaga dan menegakkan siri’ tersebut. Dia tidak peduli apakah fisiknya lebih lemah dari lawannya, atau dia kalah segala galanya dari lawannya. Sekalipun yang akan dia lakukan akan mengorbankan nyawa nya. Bagi manusia Bugis/Makassar mati karena siri’ adalah syahid, mati dengan kehormatan

sehingga muncul ungkapan mati karena siri’ adalah Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Dan, itulah sejatinya Kesatria.

Dalam berbagai literatur kita dapat menemukan referensi tentang siri’ antara lain Siri’ji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’naolo-oloka.

Artinya, hanya karena rasa malu kita bisa hidup di dunia ini, jika rasa malu itu sudah hilang maka lebih baik mati karena engkau tak bearati lagi sama sekali bahkan binatang lebih berharga dibanding dirimu. Falsafah ini dipegang teguh oleh masyarakat di Sulawesi Selatan, khususnya etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.

Falsafah ini selalu diyakini dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan terbentuk menjadi budaya Siri’ Na Pacce. Siri’berarti rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti : pedih atau pedas (keras, kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan orang lain.
Nilai ini dipandang sebagai sebuah konsep yang memberi dampak terhadap perilaku masyarakat yang menganutnya.

Dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’, (3) Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’), dan (4) Siri’ Mate Siri’. Kemudian, guna melengkapi keempat struktur Siri’tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce.
Siri’ Ripakasiri’ adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.

Contohnya adalah kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya (Siri’na) wajib untuk menegakkannya kembali, kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas dengan darah, utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.

Kategori kedua, Siri’ Mappakasiri’siri’, merupakan Siri’ yang berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya,

“Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin). Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat. Jangan jadi pengemis, karena akan memalukan.
Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat siri’, usaha harus dimulai sejak mata terbuka. Mereka selalu meyakini lebih baik tenggelam daripada balik haluan sebelum tercapai cita-cita.

Selanjutnya Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis) artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan. Ketika sampai waktu yang telah ditentukan yang berutang tidak menepati janji, artinya mempermalukan dirinya sendiri.
Terakhir, Siri’ Mate Siri’, adalah Siri’ yang berhubungan dengan iman.

Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai yang hidup.
Berdasar pokok hidup siri’ na pacce’ ini, masyarakat Sulawesi Selatan menjadikannya pola tingkah laku dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat.

Antara siri’ dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.
Filosofi Bushido samurai jepang dan filosofi Siri’ masyarakat Bugis/Makassar
Bushido berarti ‘jalan ksatria’ atau bisa disebut juga etika moral bagi kaum ksatria.

Makna secara umum dari Bushido adalah sikap rela berkorban bagi pemimpin atau negara. Yang kemudian diperluas dan diformalkan sebagai kode awal samurai dan menekankan pada penghematan, kesetiaan, penguasaan bela diri, dan kehormatan sampai mati. Bushido juga mencakup belas kasih bagi mereka dar status yang lebih rendah untuk pelestarian nama.

Awalnya Bushido berwujud literatur lebih lanjut dalam memberlakukan persyaratan untuk melakukan diri dengan ketenangan, keadilan, dan kepatutan.bagian lain dari filsafat bushido adalah mencakup bagaimana metode membesarkan anak, penampilan, dan perawatan. Namun semua itu juga dapat dilihat sebagai dari persiapan konstan seseorang menuju kematian yang baik dengan kehormatan yang utuh.

Aspek spiritual sangat dominan dalam falsafah bushido, seorang samurai memang menekankan kemenangan terhadap pihak lawan, tetapi tidak berarti dengan kekuatan fisik. Dalam semangat bushido,

seorang samurai diharapkan mampu menjalani pelatihan spiritual guna menaklukan dirinya sendiri, karena dengan menaklukan dirinya sendirilah samurai dapat mengalahkan orang lain.
Bushido telah terimplementasikan dengan baik dan sudah menjadi sistem kepribadian masyarakat Jepang, nilai-nilai tersebut yaitu :

Gi ( integritas)
Senantiasa mempertahankan etika, moralitas dan kebenaran. Integritas merupakan nilai bushido yang paling utama. Kata integritas mengandung arti keutuhan meliputi seluruh aspek kehidupan, terutama antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Nilai ini sangat dijunjung tinggi dalam falsafah bushido dan merupakan dasar untuk mengerti tentang moral dan etika sertta menjalankannya secara utuh dan menyeluruh. Integritas bisa diartikan kesempurnaan, kesatuan, keterpaduan atau ketulusan. Semua arti kata itu tepat sekali mendukung pembentukan sosok pribadi manusia sesuai yang diharapkan yaitu manusia “paripurna” atau secara sederhana ialah manusia yang penuh dengan “kemuliaan”.

Integritas seringkali ditujukan pada orang yang dianggap sudah baik secara mental maupun spiritual. Karena itu kata integritas melekat pada pribadi orang-orang yang “arif dan bijaksana” yang dalam kehidupan kesehariannya mampu menjadi sosok manusia panutan dan sebagai teladan. Bagi seoarang pemimpin, integritas merupakan hal yang utama.

Karena integritas adalah kualitas paling vital yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Konsep integritas dalam masyarakat Bugis/makassar dapat dilihat dari ungkapan EPPAI AWANGENNA PARAMATA MATTAPPAE, IYANARITU :
Massedddinna : Seuwwani teppe’e
Maduanna : issengnge
Matellunna : gau pattuju’e
Maeppanna : siri-e
Artinya: ADA EMPAT PERMATA YANG MEMANCARKAN CAHAYA, Yaitu :
Pertama : iman dan takwa
Kedua : pengetahuan
Ketiga : perbuatan baik
Keempat: harga diri
Melihat konteks di atas ada persamaan yang utama antara prinsip bushido pada samurai dengan prinsip hidup manusia Bugis/makassar yang menekankan kepada integritas personal sebagai syarat mutlak menjadi “Manusia yang paripurna”.

Yu (keberanian) Keberanian merupakan asset yang berharga bagi siapapun yang hidup di dunia ini. Tanpa keberanian seseorang tidak akan menjadi siapa-siapa dan tidak akan meraih kesuksesan.

Keberanian biasa menjadikan sesuatu yang dianggap mustahil menjadi kenyataan. Keberanian memungkinkan seseorang untuk keluar dari kesulitan dan bahkan berhasil meraih kesuksesan.

Seseorang yang batinnya memang pemberani akan menunjukan loyalitas dan kasih sayang pada pimpinan dan orangtua.

Mereka juga mempunyai kesabaran, sikap toleran, serta menghargai apa saja. Bukan dikatakan pemberani karena seseorang cepat meluapkan amarahnya. Seseorang pemberani adalah mereka yang dapat menguasai diri atau nafsunya sewaktu marah.

Konsep keberanian dalam masyarakat Bugis/makassar telah di tunjukan salah satunya oleh leluhur Bugis/makassar sebagai pelaut yang mengarungi samudra dengan kapal phinisinya. Kisah keberanian orang Bugis/makassar juga dapat dilihat dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis, yang dikirim ke Siam (sekarang Thailand) oleh Raja Louis XIV, dimana pasukan perancis, portugal dan Siam sebanyak lebih 2000 orang melawan orang makassar sejumlah 47 orang yang dipimpin oleh Dg. Mangale. Pada perang tersebut lebih 1000 orang pasukan gabungan Prancis tewas. Karena kekaguman atas keberanian Dg. Mangale kedua anak Dg. Mangale di bawa ke Prancis dan kemudian hari terkenal dengan nama Daeng Ruru bergelar Louis Pierre de Macassar, sementara saudaranya Daeng Tulolo mendapat gelar Louis Dauphin de Macassar.

Jin ( Murah Hati), Mencintai sesama, kasih sayang dan simpati. Bushido memiliki aspek keseimbangan antara maskulin (yin) dan feminine (yang). Jin mewakili sifat feminine.

Meski berlatih ilmu pedang dan strategi perang, para samurai harus memiliki sifat pengasih dan peduli pasa sesama manusia. Sikap ini harus tetap ditunjukkan baik di siang hari yang terang benderang, maupun di kegelapan malam. Kemurahan hati juga ditunjukkan dalam hal memaafkan. Mencintai sesama, kasih saying dan simpati. Bushido memiliki aspek keseimbangan antara maskulin (yin) dan feminine (yang). Jin mewakili sifat feminine. Meski berlatih ilmu pedang dan strategi perang, para samurai harus memiliki sifat pengasih dan peduli pasa sesame manusia. Sikap ini harus tetap ditunjukkan baik di siang hari yang terang benderang, maupun di kegelapan malam. Kemurahan hati juga ditunjukkan dalam hal memaafkan.

Konsep murah hati dalam filosofi Bugis Makassar dapat ditemukan dalam berbagai kisah dan pappaseng to riolo antara lain
Laoni Mai To Siattinglima Tositonra Ola Tessibelleang.

Marilah kita bergandengan tangan berjalan seiring tanpa saling menghianati.
Demikian juga disebutkan: Nasiri’I alena, nasiri toi padanna rupatau. Menjaga harkat dan martabat dirinya, serta menghormati harkat martabat orang lain.

Rei (Hormat dan Santun Kepada orang lain), Bersikap santun dan hormat pada orang lain. Ksatria tidak pernah bersikap kasar dan ceroboh, namun senantiasa menggunakan kode etiknya secara sempurna sepanjang waktu. Sikap santun dan hormat tidak saja ditujukan pada pimpinan dan orang tua, namun kepada tamu atau siapa pun yang ditemui. Sikap santun meliputi cara duduk, berbicara, bahkan dlam memperlakukan benda ataupun senjata.

Hingga saat ini kesantunan para samurai masih terlihat pada cara orang jepang menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat. Hormat dan santun kepada sesama merupakan nilai yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat Bugis/Makassar, di mana masyarakat Bugis/makassar sangat menghormati nilai nilai persaudaraan sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah pappaseng ENGNGERANGNGI DUWAE, ALLUPAI DUWAE, YANARITU:
1.Engngerangngi pappedecenna tau laingnge lao rialemu
2.Engngerangngi pappeja’mu lao ripadammu rupa tau.
3.Alupaiwi pappeja’na padammu tau lao rialemu
4.Alupaiwi pappedecemmu lao ripadammu rupa tau.
Artinya: INGAT DUA HAL, LUPAKAN DUA HAL, Yaitu:
1.Ingatlah kebaikan orang lain terhadap dirimu
2.Ingat juga keburukan dirimu terhadap orang lain.
3.Lupakan kebaikan kamu terhadap orang lain.
4.Lupakan keburukan orang lain terhadap dirimu.

Konsep ini mengajarkan untuk selalu berpikiran positif terhadap sesama dan menjaga harmonisasi hubungan sesama manusia.

Makoto – Shin (Kejujuran dan tulus ikhlas)
Samurai mengatakan apa yang mereka maksudkan, dan melakukan apa yang mereka katakan. Mereka membuat janji dan berani menepatinya. Jujur dan tulus ikhlas merupakan kode etik samurai yang berarti berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Para ksatria harus menjaga ucapannya dan selalu waspada tidak menggunjing, bahkan saat melihat atau mendengar hal-hal buruk tentang siapapun.

Filosofi kejujuran dan tulus ikhlas dalam masyarakat Bugis Makassar dapat dilihat dalam konsep Taro Ada Taro Gau prinsip ini mengajarkan betapa pentingnya memiliki sikap yang bissa dipercaya taro ada taro gau memiliki makna bahwa sebagai pemimin atau apapun profesi anda senantiasalah untuk selalu konsisten antara ucapan dan perbuatan. Demikian juga pappaseng lainnya yang berbunyi: “Naiya accae ripatoppoki jékko, ebara’ aliri, narékko téyai mareddu’, mapoloi

Artinya: “kepandaian yang disertai kecurangan ibarat tiang rumah, kalau tidak tercerabut, ia akan patah”. Di Bugis, tiang rumah dihubungkan satu dengan yang lain menggunakn pasak. Jika pasak itu bengkok sulit masuk ke dalam lubang tiang, dan patah kalau dipaksakan. Kias terhadap orang pandai tetapi tidak jujur. Ilmunya tak akan mendatangkan kebaikan (berkah), bahkan dapat membawa bencana (malapetaka)”

6.Meiyo ( menjaga nama baik dan kehormatan)
Samurai akan menghormati etika,bukan talenta. Dan mereka menghormati perbuatan, bukan pengetahuan. Salah satu cara mereka menjaga kehormatan adalah tidak menyia-nyiakan waktu dan menghindari perilaku yang tidak berguna.

Jika anda di depan publik, meski tidak bertugas, kau tidak boleh sembarangan bersantai. Lebih baik kau membaca, berlatih kaligrafi, mengkaji sejarah, atau tata krama keprajuritan.
Menjaga kehormatan dalam konteks masyarakat bugis dapat ditemukan dalam banyak pesan pesan dan filosofi antara lain:UWAPPASENGENGNGI MAKKATENNING RILIMAE AKKATENNINGENG, IYANARITU :
Mammulanna, ada tongengngé,
Maduana, lempu-é,
Matellunna, gettengngé,
Maeppana, sipakatau-é,
Malimanna, mappesonaé ri pawinru séuwaé,
Artinya :
AKU MEMESANKAN BERPEGANG PADA LIMA PEGANGAN, YAITU :
Pertama, perkataan yang benar,
Kedua, kejujuran,
Ketiga, keteguhan pada keyakinan,
Keempat, saling menghargai sesama manusia,
Kelima, berserah diri kepada pencipta yang tunggalChugo (kesetiaan pada pemimpin)
Kesetiaan ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Kesetiaan seorang ksatria tidak saja saat pimpinannya dalam keadaan sukses dan berkembang. Bahkan dalam keadaan sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, pimpinan mengalami banyak beban permasalahan, seorang ksatria tetap setia pada pimpinannya dan tidak meninggalkannya. Puncak kehormatan seorang samurai adalah mati dalam menjalankan tugas dan perjuangan. Seperti sabda Rasulullah “engkau tetap harus setia mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun ia memukul punggungmu atau mengambil haratamu, maka tetaplah untuk setia mendengar dan taat”.

Prinsip loyalitas terhadap pemimpin dalam masyarakat Bugis/Makassar salah satunya dapat dilihat dalam kisah Raja Bone ke 1 Manurunge ri Matajang dimana telah terjadi ikrar kesetiaan terhadap pemimpin oleh rakyatnya: Angikko ki raukkaju. Riao’ miri’ ri-akkeng. Matappalireng. Elomu rikkeng. Adammu kua. Mattampa’ko kilao, Millauko kisawe. Mauni anameng, pattarommeng. Rekkua muteawi, Ki-teai toi-sa. Ia kita ampirikkeng temmakare’. Dongirikeng temmatippe. Musalipuri’kkeng Temmacekke.”

Terjemahan : Anginlah engkau, kami daun kayu. Ke mana engkau menghembus ke sana kami terbawa. Kehendakmu kepada kami, titahmu jadi. Engkau menyeru, kami pergi. Engkau meminta, kami memberi. Engkau memanggil, kami menyahut. Walaupun anak kami dan isteri kami, apabila engkau tak menyukainya, kami pun tak menyukainya. Akan tetapi, tuntunlah kami menuju kemakmuran. Engkau menyelimuti kami agar kami tidak kedinginan. Bagi masyarakat Bugis/Makassar loyalitas kepada pemimpin adalah hal yang mutlak selama pemimpinnya mampu bersikap adil dan bijak melindungi rakyatnya.

Tei ( peduli) Tak peduli seberapa banyak kau menanamkan loyalitas dan kewajiban keluarga di dalam hati, tanpa perilaku baik untuk mengekspresikan rasa hormat dan peduli pada pimpinan da orang tua, maka kau tidak bisa dikatakan sudah menghargai cara hidup samurai.
Masyarakat Bugis/Makassar adalah masyarakat yang peduli sesama

hal ini di tunjukan di antaranya dalam filosofi;Rebba sipatokkong, mali siparappé, sirui ménré tessirui no, malilu sipakainge, mainge’pi mupaja.

Artinya: “rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti”. Mengandung pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Juga harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan, dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar. Jika semua itu dilaksanakan akan terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Siri’ sebagai social kapital masyarakat Bugis/Makassar

filosofi Bushido dalam samurai jepang yang mengajarkan nilai-nilai untuk menjadi manusia yang paripurna adalah social capital/modal sosial masyarakat Jepang yang menjadikannya menjadi salah satu Negara maju di dunia dan dimana masyarakat jepang tetap menjaga nilai-nilai dan tradisi Bushidonya dalam kehidupan sehari hari. Filosofi Siri’ dalam masyarakat Bugis/Makassar tidaklah kalah dengan spirit Bushido Jepang.

Seharusnya spirit Siri’ masyarakat Bugis/Makassar mampu menjadi Social Capital bagi masyarakat Bugis/Makassar untuk menjadi masyarakat yang maju, moderen, terdepan dengan tetap menjaga tradisi kehormatan dan harga diri.
Spirit Siri’ tidak seharusnya diletakkan di tempat yang sempit dan menjadi sebuah nostalgia bahkan terkesan negatif.

Siri’ seharusnya menjadi sebuah nilai yang universal dalam masyarakat Bugis/Makassar untuk bisa menegakkan harga diri dan kehormatannya dalam dalam setiap sektor kehidupan. Menjadikan masyarakat Bugis/Makassar manusia manusia yang unggul dalam setiap lini kehidupan.

Seharusnya Siri’ menjadi sebuah spirit untuk menjadi primus inter pares (yang pertama dari yang utama) malu menjadi Bodoh, malu untuk berbuat curang, malu untuk bermalas malasan dan lain lain. Siri’ seharusnya mampu memacu spirit kompetisi menjadi yang terbaik dengan cara cara yang baik.

Watampone 19 Juli 2019

Penulis
Dray Vibrianto

Kadis Kesbangpol Kabupaten Bone