APKLI-P Dukung Platform SAPA UMKM Namun Tidak Setuju Diksi WAJIB Mendaftar


Jakarta,Berandankrinews.com
Kementerian UMKM mewajibkan pelaku UMKM mendaftar di platform SAPA UMKM yang akan dilaunching nopember atau desember 2025. Diksi WAJIB itu bukan berarti yang tidak mendaftar dianggap ilegal atau tidak bisa berjualan, juga tidak ada kaitan dengan pajak memajak. Namun tidak mendapatkan fasilitas yang ada di SAPA UMKM. Program ini online dengan Perintah Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan Satu Data Tunggal UMKM Indonesia, tegas Menteri UMKM Maman Abdurrahman pada Indonesia Bussines Forum – IBF TV One, Rabu, 27/8/2025.

Merespon hal tersebut pada kesempatan yang sama, Ketua Umum APKLI-P, dr. Ali Mahsun ATMO, M.Biomed. menegaskan mendukung SAPA UMKM namun tidak setuju diksi WAJIB mendaftar, kenapa?

Kalau nanti ada aplikasi SAPA UMKM dan diwajibkan, apakah pedagang kaki lima siap mengaksesnya? Apa yang akan disampaikan ke Menteri UMKM?

Pertama, Pak Menteri UMKM, mohon maaf, saya tidak setuju dengan kata-kata diksi WAJIB dalam program SAPA UMKM. Karena wajib itu ketika tidak dilakukan bisa kena sanksi. Jadi Pak Husin, Pedagang Cilok ini tidak bisa diberi sanksi oleh Pak Maman Abdurrahman kalau beliau tidak mendaftar SAPA UMKM. Kedua, the majority pelaku ekonomi rakyat UMKM itu ada di pedesaan, dan mohon maaf, pendidikannya rendah. Oleh karena itu mereka banyak yang tidak melek teknologi. Dan ketiga, pelaku UMKM itu tidak mau ribet.

“Saya tadi baru dari Kabupaten Serang menggelorakan Gerakan Pasar Rakyat, Revitalisasi dan Integrasi PKL UMKM di Provinsi Banten. Saya sepakat digitalisasi UMKM. Pada September 2021 diminta Pak Teten Masduki selaku Menkop dan UKM RI saat itu untuk melakukan percepatan digitalisasi UMKM Indonesia dengan target 40 juta tahun 2024. Namun kenyataannya banyak kendala dilapangan. Diantaranya adalah sebagian besar pelaku UMKM buta teknologi dan tidak mau ribet.

Saat kami datang ke pasar-pasar, contoh QRIS misalkan. Kenapa QRIS banyak tidak digunakan di 17 ribu pasar trasisional diseluruh Indonesia? Karena pemerintah atau dunia perbankan belum bisa memberikan solusi apa yang diinginkan pedagang. Yaitu begitu uang masuk melalui QRIS dapat dicairkan setiap saat. Mereka tidak mau nunggu esok harinya. Sekali lagi, pedagang UMKM itu tidak mau ribet, juga tidak mau double modal.

Lebih lanjut Ali Mahsun ATMO menegaskan, saya sangat mendukung SAPA UMKM namun ada syaratnya. Pertama, status kementerian UMKM harus dinaikkan dari kementerian negara menjadi departemental. Hal ini telah kami usulkan ke negara ini sejak setahun lalu. Kenapa? Sepanjang masih kementerian negara maka SAPA UMKM ini tidak akan bisa maksinal. Bahkan bisa mengulang kegagalan 10 tahun terakhir. Karena Kementerian UMKM saat ini tidak memiliki power of executing, hanya koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga, serta Pemerintah Daerah. Juga tidak memiliki infrastruktur kelembagaan hingga Kabupaten dan Kota.

Kedua, SAPA UMKM ini tidak membebani atau mempersulit, tidak menghambat, tidak menakut-nakuti, serta bukan menjadi jebakan bagi UMKM. Saya tidak ingin nanti tiba-tiba yang tidak mendaftar SAPA UMKM tidak bisa akses KUR misalnya. Ini kan persoalan. Karena dibeberapa tempat, NIB, PIRT, Sertifikasi Halal juga NPWP menjadi persyaratan. Saya setuju dengan Menteri UMKM, pelaku UMKM yang tidak mendaftar bukan berarti ilegal, tidak boleh berdagang. Dan saya tegaskan, kalau nanti misalkan ada sanksi bagi UMKM yang tidak mendaftar SAPA UMKM, saya pastikan akan pimpin mereka turun ke jalan.

Tentunya kami bersyukur Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Kementerian UMKM untuk mewujudkan Satu Data Tunggal UMKM. Karena di Indonesia semuanya tidak valid berada di ruang hampa atau ruang gelap seperti tadi disampakan Menteri UMKM terkait data UMKM Indonesia. Dengan demikian Indonesia miliki cetak biru tata kelola UMKM berbasis satu data tunggal atau satu rumah satu bank data sehingga UMKM mampu jadi pilar utama sukses jemput puncak bonus demografi 2030 dan gapai Indonesia emas 2045, pungkas dokter ahli kekebalan tubuh, Ketua Umum Bakornas LKMI PBHMI 1995-1998.

Redam Aksi Massa Prajurit TNI Laksanakan Aksi Humanis



Jakarta .Berandankrinews.com.
Sejumlah personel TNI AD dan TNI AL diterjunkan untuk membantu menciptakan situasi kondusif di tengah aksi massa yang berlangsung di sekitar Mako Brimob, Kwitang, Jakarta Pusat, pada Jumat (29/8/2025) pagi.

Puluhan prajurit TNI hadir dengan cara-cara simpatik, berupaya mendinginkan suasana dengan mengajak massa untuk berdialog serta duduk bersama. Pendekatan humanis tersebut dilakukan sebagai upaya meredam ketegangan agar situasi tetap terkendali.

Di lapangan, terlihat personel TNI aktif mengimbau demonstran untuk tidak melakukan tindakan provokatif maupun pelemparan terhadap aparat. Sebaliknya, massa diajak berdiskusi secara damai agar aspirasi dapat tersampaikan dengan baik.

Demonstran yang terdiri dari warga dan pengemudi ojek daring diminta untuk menahan diri dan menjaga ketertiban. Upaya ini menjadi wujud kehadiran TNI dalam mendukung terciptanya keamanan serta kenyamanan bersama.

Selain melakukan pendekatan persuasif, prajurit TNI juga turut bergotong-royong membersihkan sisa-sisa sampah aksi bersama masyarakat sekitar, sekaligus membagikan logistik berupa air minum kepada massa dan warga di lokasi. Tak hanya itu, TNI bersama aparat terkait juga mengevakuasi serta mengangkut mobil yang dibakar massa, guna mencegah potensi bahaya dan mengembalikan kelancaran arus lalu lintas.

Melalui langkah ini, TNI menunjukkan komitmen untuk selalu hadir bersama rakyat untuk menjaga kerukunan, Kesatuan dan persatuan untuk menjaga stabilitas nasional.

puspen TNI AD

Ibu Menyusui Ditahan Bersama Bayinya, Wilson Lalengke Bongkar Kejanggalan Polisi Jakpus

Jakarta –Berandankrinews.com
Peristiwa penahanan Rina Rismala Soetarya, seorang ibu menyusui bersama bayi berusia sembilan bulan di Polres Metro Jakarta Pusat, terus menuai sorotan tajam publik. Tak hanya dianggap mencederai rasa kemanusiaan, kasus ini juga dinilai sarat kejanggalan hukum dan pelanggaran HAM.

Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A., menyebut penjelasan Kapolrestro Jakpus baru-baru ini justru membuka tabir praktik kriminalisasi warga sipil. Menurutnya, perkara yang seharusnya masuk ranah perdata dipaksakan menjadi pidana demi kepentingan segelintir pihak.

“Ini jelas bentuk kriminalisasi. Urusan jual-beli mobil itu perdata, bukan pidana. Polisi telah menabrak aturan demi mempidanakan kasus yang seharusnya diselesaikan secara keperdataan,” tegas Wilson Lalengke, Selasa, 19 Agustus 2025, merespon klarifikasi Kapolrestro Jakpus yang diteruskan kepadanya.

*Panggilan Polisi yang Aneh*

Kapolresto Jakpus sebelumnya menyatakan pihaknya telah melayangkan surat panggilan kepada Rina di rumahnya. Namun, rumah disebut dalam keadaan kosong. Wilson Lalengke menilai alasan itu janggal dan tidak relevan.

“Apakah rumah kosong bisa dijadikan alasan menjustifikasi seseorang telah berbuat pidana? Lebih parah lagi, surat panggilan pertama bertanggal 1 Agustus 2025, padahal tanggal yang sama Rina sudah berada di Polrestro Jakarta Pusat. Surat panggilan mana yang diklaim sudah dikirim ke rumah kosong itu?” ujar alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu mempertanyakan kejujuran sang Kapolres berpangkat Komisaris Besar Polisi itu.

*Klaim ‘Datang Bersama Pelapor’*

Polisi menyebut Rina tidak ditangkap, melainkan datang sendiri bersama pelapor. Wilson Lalengke membantah keras.

“Polisi bohong. Rina bersama bayinya digelandang paksa oleh dua polisi yang dibawa pelapor bernama Apiner Semu ke Mapolres. Surat panggilannya untuk Senin, 4 Agustus, tapi dia sudah dipaksa hadir sejak Jumat, 1 Agustus,” tegasnya.

*Penahanan Ibu dan Bayi*

Kapolresto Jakpus mengatakan Rina ditempatkan di ruang Kanit agar bisa memerah ASI untuk bayinya. Namun Wilson Lalengke mengungkap fakta berbeda, terutama terkait bayinya yang tidak ditahan bersama ibunya.

“Faktanya, Rina tetap ditahan bersama bayinya minimal sejak Sabtu siang hingga Minggu dini hari pukul 02.00. Sangat mungkin sampai siang hari Minggu. Ini bentuk pelanggaran HAM serius,” ungkapnya.

*Seret Urusan Pribadi*

Wilson Lalengke juga mengecam sikap aparat yang menyeret urusan pribadi Rina, termasuk status pernikahan hingga menyebut suaminya pecatan TNI. “Apa relevansinya urusan pernikahan atau latar belakang suami dengan tuduhan pidana? Itu tidak ada kaitannya sama sekali. Pernyataan semacam itu merupakan bentuk pembunuhan karakter untuk mencitrakan korban kriminalisasi sebagai orang jahat,” jelas wartawan senior ini menyesalkan pola pikir Kapolresto Jakpus yang menyesatkan.

*Dugaan Rekayasa ‘Kabur’*

Terkait klaim polisi bahwa Rina kabur atau melarikan diri dari ruang tahanan, Wilson Lalengke menyebut hal itu sebagai rekayasa polisi. “Saya terakhir berkomunikasi dengan Rina pada Sabtu malam pukul 22.25, dia masih di ruang Kanit Reskrim. Polisi bilang kabur Sabtu subuh atau pagi. Jelas ini bohong. Saya melihat ini trik aparat yang sudah terdesak, memberi ruang Rina keluar, lalu ditangkap kembali untuk memunculkan delik pidana,” bebernya.

*Sisa Tanggungan dan Klaim Korban Lain*

Polisi menyebut Rina masih punya sisa tanggungan Rp320 juta kepada pelapor. Wilson Lalengke menilai hal itu justru memperjelas ranah perkara. “Kalau masih ada tunggakan, bukankah itu berarti perdata? Kenapa harus dipaksakan jadi pidana?” katanya bertanya.

Kapolresto Jakpus juga menyebut ada korban lain dari Rina yang belum melapor. Menurut Wilson Lalengke, pernyataan semacam itu tidak pantas keluar dari otak seorang perwira.

“Seorang Kapolres harus bicara berdasarkan fakta hukum, bukan kabar burung atau asumsi liar ngawur yang cenderung memfitnah rakyat,” tegas tokoh pers nasional itu.

*Penegasan Sikap*

Wilson Lalengke menegaskan bahwa keterlibatannya mengawal kasus ini murni karena kepeduliannya terhadap penegakan hukum, bukan karena adanya hubungan dan kepentingan pribadi dengan korban kriminalisasi, Rina Rismala Soetarya. “Saya tidak punya kepentingan apa pun dengan Rina. Tapi saya tidak bisa diam melihat penegakan hukum yang sewenang-wenang. Ini sudah kasus kedua di Polres Jakpus yang saya temukan: perkara perdata dipidanakan demi materi yang dikejar dalam kasus terkait,” pungkas Wilson Lalengke sambil menambahkan bahwa kasus ini kini menjadi sorotan publik, bukan hanya karena kejanggalan hukum, tetapi juga karena menyangkut sisi kemanusiaan: seorang ibu menyusui dipaksa menghadapi proses hukum dengan cara yang dinilai jauh dari keadilan. (TIM/Red)

Hentikan Penahanan Ibu Menyusui! Polisi Jakarta Pusat Diduga Kuat Langgar Konstitusi

Jakarta -Berandankrinews.com
Ketua Komite Tetap Advokasi dan Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak pada unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak – KADIN Indonesia, Jurika Fratiwi, SH., SE., MM., menyatakan keprihatinannya yang amat mendalam atas tindakan Polres Jakarta Pusat yang menahan seorang ibu menyusui bersama bayinya yang baru berusia 9 bulan. Hal tersebut disampaikannya kepada media ini usai mengunjungi Polres Jakarta Pusat, Selasa, 04 Agustus 2025.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, seorang ibu dari Sumedang bernama Rina (sebelumnya ditulis Rini – red) ditahan bersama bayinya oleh polisi di Polres Jakarta Pusat atas laporan warga dengan dugaan penipuan dan atau penggelapan. Padahal, kasus tersebut murni terkait jual-beli pembelian kendaraan yang tidak terpenuhi atau wanprestasi karena ketidak-cocokkan harga dan jenis kendaraan.

Dari hasil pantauannya, ungkap Jurika saat berkunjung berkunjung ke Polres Jakarta Pusat, pihak kepolisian mengatakan sudah menyediakan ruang khusus untuk menyusui bagi ibu dan anaknya. Namun, faktanya lingkungan tahanan tersebut tetap tidak memenuhi standar kesehatan dan tidak layak secara psikologis untuk bayi.

“Akibatnya, anak mengalami demam dan muntah, dampak langsung dari kondisi lingkungan yang tidak manusiawi bagi bayi yang seharusnya mendapatkan perlindungan optimal dan ASI eksklusif,” ujarnya dan menambahkan bahwa penahanan ini jelas melanggar prinsip-prinsip hukum perlindungan anak dan perempuan, khususnya Hak Asasi Anak.

Beberapa aturan hukum yang diduga dilanggar oleh aparat penegak hukum Polres Jakarta, di antaranya adalah Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Juga, Pasal 16 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegakkan “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan, eksploitasi, dan perlakuan yang tidak manusiawi”.

Ketentuan konstitusi dan perundangan di atas dijabarkan dalam lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang “Menjamin hak ibu untuk menyusui dan hak anak mendapatkan ASI eksklusif”. Bahkan dalam Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2022 disebutkan bahwa “Penahanan harus menjadi upaya terakhir (ultimum remedium), dan dapat dihindari jika tersedia jalur keadilan restoratif”.

“Dalam kasus ini, si ibu sempat mencicil dana yang dimaksud secara bertahap, yang menunjukkan itikad baik. Penggunaan dana untuk kebutuhan pribadi bukan serta-merta membuktikan niat jahat (mens rea – red). Maka, penerapan pasal penggelapan masih patut diperdebatkan dan semestinya masuk dalam ranah perdata atau wanprestasi,” tegas Jurika.

Sebagai Ketua Komite Tetap Advokasi dan Perlindungan Hukum Anak dan Perempuan KADIN Indonesia, Jurika mengatakan bahwa pihaknya telah mengajukan permohonan penangguhan bagi Ibu Rina dan bayinya. “Saya Jurika Fratiwi, S.H., S.E., M.M. telah secara resmi mengajukan surat permohonan penangguhan penahanan kepada Kapolres Jakarta Pusat, serta meminta agar ibu dan anak segera dibebaskan dari ruang tahanan,” tutup Jurika.

Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, yang mendapatkan laporan awal tentang kasus tersebut mempertanyakan komitmen Polri sebagai polisi humanist, polri presisi, dan belakangangan mengusung tagline Polri untuk Masyarakat. “Semuanya hanya lips service, faktanya kosong-melompong,” sebut alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu sambil menambahkan bahwa semboyan yang lebih pas untuk Polri adalah “Hepeng mangotor nagara on alias semua urusan pastikan sedia uang tunai”. (TIM/Red)

Ditahan Bersama Bayinya, Ibu Rini Jadi Simbol Duka Penegakan Hukum di Polres Jakarta Pusat

Jakarta -Berandankrinews.com
Tangis keadilan kembali terdengar lirih dari balik dinding dingin kantor polisi. Seorang ibu muda asal Sumedang, Jawa Barat, bernama Rini, harus menelan pil pahit hukum ketika dirinya dipanggil sebagai saksi dalam kasus perdata yang menyeret namanya di wilayah Polres Jakarta Pusat.

Alih-alih mendapat perlakuan sebagai saksi, pada Jumat, 1 Agustus 2025, statusnya berubah drastis dalam waktu singkat. Rini langsung ditetapkan sebagai tersangka, dan serta-merta ditahan segera usai diperiksa sebagai saksi. Ironisnya, proses penahanan itu dilakukan tanpa memperhatikan kondisi sosial dan kemanusiaan: ia harus mendekam di tahanan bersama bayi laki-lakinya yang baru berusia 9 bulan.

Dalam foto yang beredar di media sosial, Rini terlihat terbaring lesu di lantai beralas kain tipis, sementara sang bayi tidur di samping ibunya. Tidak ada fasilitas layak, tidak ada empati yang tampak. Potret itu menggambarkan sisi gelap dari semangat Polri Presisi yang selama ini digembar-gemborkan: pelayanan yang humanis dan berkeadilan.

Ketua Umum DPN PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia), Wilson Lalengke, menyuarakan protes keras. “Inilah contoh terbaik tentang sikap dan perilaku mulia aparat ‘POLRI UNTUK MASYARAKAT’. Terima kasih Polisiku yang amat mulia,” sindir Wilson dalam unggahan pribadinya, Sabtu, 2 Agustus 2025.

*Antara Hukum dan Kemanusiaan*

Kasus Rini mengundang perhatian publik, terutama karena menyangkut kasus perdata yang seharusnya tidak serampangan berujung pidana. Langkah cepat penetapan tersangka dan penahanan dalam satu hari menuai pertanyaan besar: di mana ruang diskresi dan kebijaksanaan aparat penegak hukum?

Kritik juga mengarah pada minimnya fasilitas khusus untuk perempuan dan anak dalam situasi hukum. “Negara tidak boleh abai. Perempuan dengan anak balita bukan hanya objek hukum, tetapi manusia yang harus diperlakukan bermartabat,” tegas Ujang Kosasih, S.H., pengamat hukum pidana yang juga merupakan Penasehat Hukum PPWI, merespon postingan Wilson Lalengke.

Pihak kepolisian hingga berita ini diturunkan belum memberikan pernyataan resmi terkait alasan percepatan status hukum Rini serta kondisi tempat penahanannya.

*Harapan Publik: Evaluasi Serius*

Kasus ini menambah daftar panjang perlakuan hukum yang dinilai tidak proporsional dan minim empati. Publik berharap Kapolri dan Kompolnas segera mengambil langkah konkret. Tidak cukup dengan klarifikasi, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap standar operasional penanganan perkara, terutama yang menyangkut perempuan dan anak.

“Ini bukan hanya tentang Ibu Rini, ini tentang bagaimana kita memperlakukan sesama manusia dalam sistem hukum yang katanya beradab,” pungkas Ketua Organisasi Advokat PERSADI, Irjenpol (Purn) Dr. Abdul Gofur, S.H., M.H. yang juga adalah Dewan Penasehat PPWI. (SUGI/Red)